Selasa, 25 Februari 2020

Kekuatan Iman dan Hati

Ada begitu banyak kisah cinta umat manusia, ada yang berakhir bahagia, tetapi tak sedikit pula yang merana. Mencintai berarti mengambil risiko untuk patah hati. Begitu pula yang dialami seorang sahabat Nabi, Salman al-Farisi.

Salman al-Farisi. Ia merupakan seorang mantan budak dari Isfahan Persia. Kisah cinta Salman terjadi saat ia tinggal di Madinah setelah menjadi Muslim dan menjadi salah satu sahabat dekat Rasulullah.

Siapa yang tak kenal Salman al-Farisi, sosok laki-laki pemberani nan cerdas yang mengusulkan penggalian parit dalam perang Khandaq bersama Rasulullah. Ide briliannya membuat namanya disorot seluruh umat muslim dunia. Namun siapa sangka, di balik kemasyhurannya, pria asal Persia ini juga pernah merasakan patah hati karena seorang perempuan yang amat dicintainya.

Saat itu, Salman diam-diam menaruh perasaan pada seorang muslimah kalangan Anshar. Demi menyempurnakan sunnah Nabi Saw, Salman pun memantapkan hati untuk melamar pujaan hatinya. Tetapi karena ia bukanlah penduduk asli Madinah, Salman belum mengetahui bagaimana adat dan budaya yang diterapkan untuk melamar seorang perempuan Madinah.

Salman akhirnya meminta sahabatnya, Abu Darda untuk menemaninya mengkhitbah (melamar) pujaan hatinya. Betapa bahagia Abu Darda mendengar niat baik sahabatnya. Tanpa berpikir panjang, Abu Darda langsung menyanggupi permintaan sahabatnya.

Keduanya pun pergi ke rumah sang perempuan dengan hati bahagia. Setibanya di sana, orangtua perempuan tersebut menerima dan menjamu keduanya dengan baik. Abu Darda pun memperkenalkan dirinya dan sahabatnya, serta menyampaikan maksud baik sahabatnya yang ingin meminang putri mereka.

Betapa bahagia sang ayah mendengar tujuan mulia sang lelaki di hadapannya. Namun ia tak serta merta menerima lamaran laki-laki Persia tersebut. Ia kembalikan keputusan itu kepada anaknya, karena bagaimanapun sang anak memiliki hak untuk memilih siapa yang kelak akan menjadi imam hidupnya.

Sang putri akhirnya menyatakan pendapatnya kepada kedua orangtuanya. Sedangkan Salman dan Abu Darda menunggu dengan hati berdebar-debar. Dalam hati, Salman berdoa agar maksud hatinya disambut baik dengan perempuan idamannya.

Beberapa saat kemudian, sang ibu akhirnya angkat bicara,“Mohon maaf kami harus berterus terang, dengan penuh hormat putri kami tidak bisa menerima pinangan ananda Salman al-Farisi”.

Jawaban dari sang ibu bagaikan petir di siang bolong. Hancur sudah harapan Salman untuk hidup bersama dengan pujaan hatinya. Belum juga tersadar dari kenyataan, Salman kemudian mendengar ucapan yang lebih perih lagi.

Sang ibu melanjutkan “Namun karena kalian berdua datang dan menggharap ridho Allah. Jika saudara Abu Darda memiliki tujuan yang sama, maka putri kami akan bersedia menerimanya”.

Sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin itulah yang dirasakan Salman. Begitu kaget Salman mendengar perkataan sang ibu. Tidak cukup dengan penolakan cinta, Salman juga harus menerima kenyataan pahit bahwa perempuan yang diidam-idamkannya justru lebih memilih Abu Darda, sahabatnya sendiri.

Namun siapa sangka, dalam keadaan patah hati Salman al-Farisi bukan justru membenci sahabatnya. Ia malah ikut berbahagia. Dengan ikhlas dan tegar, Salman melepaskan harapannya seraya berkata,“Semua mahar dan nafkah yang sudah aku persiapkan ini aku serahkan kepada Abu Darda. Dan aku pula yang akan menjadi saksi pernikahan mereka”.

Betapa besar kemuliaan hati Salman al-Farisi. Ia sadar bahwa cinta kepada manusia tak boleh melemahkan imannya. Kekuatan Salman bukan hanya terlihat dari fisiknya, tetapi juga dari hati dan imannya.

Salman al-Farisi juga sangat paham arti persahabatan sejati. Tak sedikitpun rasa benci kepada Abu Darda terbesit di hatinya. Ia justru turut berbahagia ketika sahabatnya bahagia. Coba bayangkan, betapa banyak kasus persahabatan yang rusak karena cinta. Namun Salman tetap menjaga kokoh persahabatannya hingga akhir hayatnya.

Senin, 24 Februari 2020

Aku rela dengan yang Engkau beri

Ulama besar Arab Saudi Habib Muhammad bin Alwi Al-Miliki Al-Hasani (1946-2004) pernah mengisahkan seorang fakir miskin yang tidak pandai bersyukur. Alkisah, suatu hari seorang fakir miskin melewati jalan di Madinah.

Di sepanjang jalan, dia sering melihat orang-orang makan daging. Dia pun merasa malu karena jarang sekali bisa makan daging. Dia pulang ke rumahnya dengan hati marah bercampur sedih.

Sesampai di rumah, istrinya menyuguhkan kedelai rebus. Dengan hati terpaksa, dia memakan kedelai itu seraya membuang kupasan kulitnya ke luar jendela. Dia sangat bosan dengan kedelai.

Dia berkata pada istrinya : “Bagaimana hidup kita ini…? Orang-orang makan daging, kita masih makan kedelai.”

 Tak lama kemudian, dia keluar ke jalan di pinggir rumahnya. Alangkah terkejutnya, dia melihat seorang lelaki tua duduk di bawah jendela rumahnya, sambil memungut kulit-kulit kedelai yang tadi ia buang dan memakannya seraya bergumam :

ﺍﻟﺤﻤﺪﻟﻠﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﺭﺯﻗﻨﻲ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺣﻮﻝ ﻣﻨﻲ ﻭﻻ ﻗﻮﺓ

“Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberiku rezeki tanpa harus mengeluarkan tenaga.”

 Mendengar ucapan lelaki tua itu, dia menitikkan air mata, seraya bergumam :

ﺭﺿﻴﺖ ﻳﺎ ﺭﺏ

“Sejak detik ini, aku rela dengan apapun yang Engkau berikan Yaa Allah...”

Rejeki itu yang penting mengalir, besar kecil yang penting ada alirannya. Jangan harap mengalir seperti banjir, kalau tak bisa berenang bisa tenggelam. Sampai kapan engkau sibuk dengan kelezatan, sedangkan engkau akan ditanya tentang semua yang kau lakukan. Demikian nasihat indah dalam kisah ini.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA pernah berkata: ﻣﻦ ﻛﺎﻧﺖ ﻫﻤّﺘﻪ ﻣﺎ ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻲ ﺑﻄﻨﻪ ﻛﺎﻧﺖ

"Barang siapa perhatiannya hanya pada apa yang masuk ke perutnya, maka nilai seseorang itu tidak lebih dari apa yang keluar dari perutnya".

"Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambahkan nikmat-Ku kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih". (QS Ibrahim: 7)

Ayat ini menegaskan bahwa bersyukur adalah hal yang sangat ditekankan dalam Islam. Bahkan, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk senantiasa bersyukur atas nikmat dan karunia-Nya. Sebut saja nikmat bernafas, nikmat hidup, nikmat iman dan Islam, nikmat makan dan minum dan masih banyak lainnya.

Perintah bersyukur ini juga diabadikan dalam Alquran: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah. (QS Al-Baqarah: 172)

Baarakallahu Fiikum...




Salman Al- Farisi Yang Dermawan





Kisah pemimpin sederhana yang gajinya habis diberi ke fakir miskin

Meski beliau adalah gubernur Madain dengan gaji 5000 dinar (kira-kira 8,5 M per tahun), gaji itu tidak pernah ia pakai. Semuanya disedekahkan, sedang Ia lebih suka makan dan minum dari hasil kerjanya sendiri.

Salman Al-Farisi terpilih menjadi kepala daerah di kota Madain. Sebagai pejabat, Salman mempunyai kesempatan untuk hidup bergelimang kemewahan. Akan tetapi, dia tidak ingin bermewah-mewah. Bahkan, sahabat Rasulullah SAW ini tidak mau mengambil satu dirham pun dari gajinya.

Uang gajinya selalu habis dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Untuk kebutuhan hidupnya, dia peroleh dari menganyam daun kurma yang dijadikan keranjang hasil tangannya sendiri.

Salman hidup sederhana. Pada suatu waktu, ada seorang laki-laki dari Kota Syiria yang berjalan sambil memikul keranjang buah tin dan kurma. Beban itu sangat berat sampai dia kelelahan.

Saat itu dia melihat seseorang yang berpakaian sederhana. Orang Syiria tersebut memanggilnya.

"Tolong bawakan barang ini sampai ke rumahku. Nanti aku akan kuberi imbalan atas jerih payahmu itu," ujar orang Syiria tersebut. Dikutip dari buku Kisah Seru 60 Sahabat Rasul tulisan Ummu Akbar.

Laki-laki berpakaian sederhana itu menurut saja. Dia pun memikul keranjang buah-buahan itu ke punggungnya dan mereka berjalan bersama-sama. Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan serombongan orang.

Orang sederhana itu mengucapkan salam kepada mereka. Rombongan itu berhenti dan menjawab salamnya, "Kami ucapakan salam juga kepadamu, wahai amir (kepala daerah)."

Lalu sebagian dari rombongan itu berusaha membantu Salman. Namun dia menolak. Orang Syiria pun tersentak dan segera sadar bahwa yang membantunya ialah Salman Al Farisi, kepala daerah Kota Madain.

Orang Syiria tersebut menjadi gugup dan minta maaf terus menerus atas kelancangannya. Dia berusaha menarik keranjang tangan Salman.

"Tidak, sebelum kuantarkan sampai ke rumahmu," jawab Salman.

MasyaAllah betapa berbudinya sifat sahabat Rasulullah ini, selain dermawan beliau juga mengajarkan sebagai pemimpin yang hidup sederhana.


Minggu, 23 Februari 2020

Khaulah binti Azwar

Khaulah bint al-Azwar (Arab خولة بنت الأزور) adalah seorang pejuang Muslim selama kehidupan nabi Muhammad dan kemudian menjadi seorang pemimpin militer. Dia telah digambarkan sebagai salah satu pemimpin militer wanita terbesar dalam sejarah dan pernah dibandingkan dengan Khalid Bin Walid oleh lawan di medan perang.

Dia adalah saudara perempuan Dhiraar bin Al-Azwar , prajurit dan komandan tentara Rashidun selama penaklukan Muslim abad ke-7 . Lahir pada abad ketujuh, putri Malik atau Taken bin Awake, salah satu pemimpin suku Bani Assad, Khaulah terkenal karena kepemimpinannya dalam pertempuran penaklukan Muslim di beberapa tempat yang sekarang dikenal sebagai Suriah , Yordania, dan Palestina.

Ia merupakan salah satu sosok perempuan tangguh dan pemberani, jiwa dan raganya ia korbankan untuk membela Islam. Pada saat kaum Muslim berhadapan dengan para pasukan Romawi, ia pada mulanya hanyalah sebagai petugas medis dan pemasok logistik bagi para mujahidi-mujahidin lainnya.

Khaulah bertempur bersama dengan saudaranya Dhirrar dalam banyak pertempuran, Termasuk Pertempuran Yarmouk pada tahun 636 melawan kekaisaran Bizantium . Pada hari ke-4 pertempuran dia memimpin sekelompok wanita melawan pasukan Bizantium dan mengalahkan komandan utamanya dan kemudian terluka saat bertarung dengan seorang prajurit Yunani.

Bakat bertempurnya pertama kali muncul selama Pertempuran Sanita-al-Uqab pada tahun 634, bertempur selama Pengepungan Damaskus , di mana saudara lelakinya Zirrar (atau Deraar) memimpin pasukan Muslim dan terluka serta dipenjara oleh tentara Bizantium. Khalid ibn Walid mengambil tugas untuk menyelamatkannya. Khaulah menemani pasukan dan bergegas sendirian di barisan belakang Bizantium. Dalam baju besinya dan pakaian longgar khas prajurit Arab, dia tidak menampakan identitas bahwa ia adalah seorang muslimah.

Ia memporak-porandakan barisan kaum Romawi. Dan membangkitkan lagi semangat kaum muslimin.
Timbul pertanyaan dalam benak kaum muslimin yang menyaksikan prajurit berkuda itu. Rafi’ bin Umairoh pun berpikiran bahwa itu adalah Khalid bin Walid sang pedang Allah. Namun dari pembawaannya ia ragu bahwa itu adalah Khalid bin Walid. Nyatanya ia bukanlah Khalid bin Walid. Khalid bin Walid yang turut menyaksikan keberanian sang prajurit merasa kagum dan berseru agar kaum muslimin membantunya.  “Wahai kaum muslimin, satukan semua bala tentara dan bantulah penunggang kuda yang mempertahankan agama Allah!”, seru Khalid bin Walid kepada seluruh kaum muslimin.

Pejuang misterius itu telah merobek musuh dengan pedang dan tombak yang dibawanya. Dengan sekali tebas, tiga orang musuh jatuh tersungkur ke atas bumi. Panglima Khalid ibnu Walid kagum dengan pejuang misterius itu. Ia bertanya-tanya, siapakah pejuang yang begitu gigih dan berani menentang musuh?

Mereka kagum, takjub bercampur syukur karena dikaruniakan pejuang yang berani seperti itu.Khalid mengikuti pejuang misterius yang sudah memperlihatkan contoh itu, diikuti oleh orang-orang Islam lainnya. Ditariknya tali kekang kuda dan dihunuslah tombak untuk melindungi dan memberikan bantuan kepada pejuang misterius itu.

Khaulah terus berjuang tanpa henti-hentinya bersama-sama tentara Islam yang lainnya hingga berakhirlah pertempuran itu dengan kemenangan mutlak di tangan tentara Islam, sehingga dapat kembali ke tengah pasukan tentara Islam dengan pakaiannya yang berlumuran darah.

Segera setelah serbuan umum itu, Khalid mendekat kepada sang penunggang dan bertanya,
”Wahai pejuang, tunjukkanlah wajahmu!”, ”Wahai komandan, bukannya aku enggan menjawab pertanyaan anda, hanya saja aku merasa malu, sebab anda seorang pemimpin yang agung, sedangkan aku adalah gadis pingitan. Sesungguhnya tiada lain yang mendorongku untuk melakukan hal seperti itu melainkan karena hatiku terbakar dan aku sangat sedih.”

Kesedihan dan kemarahan akan berita ditawannya saudaranya tercinta, Dhirar bin al-Azwar, membuatnya tampil ke medan perang sebagai pejuang, dan tidak lagi berada di barisan belakang sebagai perawat prajurit yang terluka dan mengurus perbekalan sebagaimana yang dilakukan sebelumnya bersama para wanita yang ikut dalam peperangan.

Namun Khaulah pulang dengan perasaan sedih, karena tidak memperoleh berita tentang saudaranya. Ia bertanya kepada setiap orang Islam tentang saudara kandungnya, namun tidak ada yang bisa menjawabnya. Kesedihan itu tidak dapat ditampung lagi, lalu menangislah ia.

Tak lama ada kabar bahwa Dhirar telah berhasil menewaskan seorang putera raja dan sejumlah besar pasukan mereka, lalu mereka menghadapinya bersama-sama. Dhirar akhirnya ditangkap dan dikirim kepada raja mereka. Dhirar ditawan dan sedang dibawa ke Homs, dengan pengawalan seratus tentara berkuda.

Khaulah bergabung dengan tentara Muslimin untuk membebaskan Dhirar, “Allahu akbar!” akhirnya kemenangan pun berhasil mereka raih. Khaulah segera mendapatkan Dhirar dan melepaskan belenggu yang mengikatnya, sementara tentara-tentara Islam merampas semua yang mereka bawa dan kemudian pulanglah mereka kepada Khalid ibnu Walid.

Keberanian Khaulah juga diuji ketika ia dan kawan-kawan muslimahnya menjadi tawanan pada saat perang Sahura, mereka ditangkap oleh para tentara Romawi dan dijadikan sebagai tawanan.

Keberanian Khaulah sekali lagi terbukti ketika menyertai perang Sahura, di sekitar Syam. Pada saat itu, beberapa orang perempuan tertawan.  ia memotivasi para kawannya agar mereka bisa membebaskan diri dari kurungan tentara Romawi, Khaulah memimpin para tawanan wanita untuk melakukan perlawanan dengan menggunakan tiang tenda sebagai alat perlawanannya menyerang para penjaga Bizantium

Menurut Al Waqidi, mereka berhasil membunuh tiga puluh ksatria Bizantium dan Khaulah berhasil membunuh beberapa tentara, termasuk pemimpin tentara Bizantium yang melecehkannya.

Begitulah kisah seorang mujahidah Islam yang gagah berani berjuang karena Allah. Sehingga dia mendapat gelar tertinggi dari Allah. Jika Khalid ibnu Walid mendapat gelar Pedang Allah di kalangan laki-laki, maka Khaulah binti Azwar adalah Pedang Allah dari kalangan wanita. Khaulah meninggal dunia di akhir pemerintahan Usman bin Affan.

Untuk mengenang keberaniannya dan kehebatannya dalam berperang, banyak jalan dan sekolah di tanah kelahirannya, Arab Saudi , dinamai menurut namanya. Jordan mengeluarkan perangko untuk menghormatinya sebagai bagian dari "Perempuan Arab dalam Sejarah." Banyak kota-kota Arab memiliki sekolah dan institusi dengan nama Khaula Bint al-Azwar. Hari ini, unit militer khusus wanita Irak dinamai unit Khaulah bint al-Azwar untuk menghormati Khaulah. Di Uni Emirat Arab , perguruan tinggi militer pertama untuk wanita, Khaulah binti Al Azwar Training College, juga dinamai seperti namanya.


Jumat, 21 Februari 2020

Sunah Mengibaskan Kasur Sebelum Tidur


Mengibaskan kasur dengan kain atau sarung sebelum kita menempatinya dan tidur di atasnya adalah kegiatan yang harus kita biasakan, karena itu merupakan salah satu sunnah dari Rasulullah Shallallahi ‘alaihi wa Sallam. Abu Hurairah mengatakan, “Rasulullah bersabda, ‘Jika seseorang kalian menuju ranjangnya maka hendaklah dia mengibas ranjang dengan sarungnya, karena dia tidak tahu apa yang ada di atasnya, lalu berucap: Bismika Rabbi wadha’tu janbi wa bika arfa’uhu, in amsakta nafsi farhamha wa in arsaltaha fahfadzha bima tahfadza ibadaka ash-shalihin(Dengan nama-Mu Rabb aku meletakkan badanku dan dengan nama-Mu aku mengangkatnya, Jika Engkau menahan jiwaku, maka rahmatilah dan jika Engkau melepaskannya maka jagalah dengan cara Engkau menjaga hamba-hambaMu yang shalih)’.” (HR. Imam Bukhari)

Hadits lainnya sebagai tambahan: "Bagi orang yang bangun dari tempat tidurnya kemudian kembali lagi, maka dianjurkan untuk mengibasinya kembali." (Sebagaimana hadits riwayat Tirmidzi. 3410, dishahihkan dalam Kalim Thoyyib: 3410)

Mengibas atau menyapu ranjang sebagai sarana menghilangkan segala sesuatu yang mungkin berada di atasnya selama ditiggal. Bisa jadi, selama ditinggal, ada serangga atau kalajengking yang ada diatas ranjang, dan itu membahayakan siapa saja yang akan tidur di atas ranjang tersebut.

Ternyata ada fakta ilmiah di baliknya, yang tentu saja berefek pada kesehatan tubuh kita. Juga ada rahasia lainnya yang berhubungan dengan alam ghaib mengenai hal ini. Oleh sebab itu jangan sampai kita meremehkan sunah yang satu ini sebelum tidur.

Beberapa Ilmuwan Barat mengungkapkan, Ketika seseorang tidur beberapa sel-sel mati dan jatuh ke spreinya, dan setiap kali kita bangun ia akan akan tertinggal di belakang dan terakumulasi. Sel-sel mati ini tidak terlihat oleh mata telanjang dan hampir tidak dapat dihancurkan. Ketika jumlah sel-sel mati meningkat maka akan dengan mudah menembus kembali ke dalam tubuh yg menyebabkan penyakit serius.

Mereka mencoba untuk menghancurkan sel menggunakan berbagai disinfektan, tapi semua sia-sia. Sel-sel mati tidak pindah atau menghilang. Salah satu ilmuwan mengatakan, ia mencoba mengibas debu 3 kali seperti dalam Hadits dan tercengang menemukan bahwa semua sel-sel mati menghilang !!

Kebanyakan orang berpikir mengibaskan kasur itu adalah hanya menghilangkan serangga kecil tapi tidak tahu bahwa masalah ini jauh lebih besar dari itu. Jadi sangat menyedihkan bila menemukan bahwa kebanyakan dari kita mengabaikan ajaran Nabi Muhammad Salallahu'Alaihi Wassalam

Lidi atau kain yang dikibaskan sebanyak tiga kali, ke kasur tempat di mana kita akan tidur juga akan mengusir segala bentuk gangguan lain yang kemungkinan menetap di atasnya. Semisal jin yang menempati kasur-kasur itu, akan terusir dengan kibasan yang kita lakukan.

“Tidak ada satu kasur pun yg tergelar di dalam suatu rumah yg tidak ditiduri oleh manusia, kecuali SETAN AKAN TIDUR DI ATAS KASUR ITU…” (Akamul Marjan fi ahkamil Jaan hal.150)

Orang yang beriman pada yang ghaib pasti menyadari bahwa kita hidup bersama dengan makhluk ciptaan Allah lainnya yang tak kasat mata, oleh sebab itu melakukan sunah mengibas-ngibaskan kasur dengan sarung sebelum tidur sambil membaca basmallah insyaa Allah bisa menghindarkan kita dari gangguan jin.

Mudah-mudahan dengan amalan yang sederhana ini, kita dapat terhindar dari tidur bersama dengan jin dan syaitan yang juga ikut berbaring di atas tempat tidur.

Wallahu A’laam

Rabu, 19 Februari 2020

Maria binti Syama’un

Maria Al-Qibthiyah

Maria binti Syama’un atau Maria orang Koptik (bahasa Arab: مارية القبطية‎, Maria al-Qibthiyah; meninggal 637) adalah seorang budak Kristen Koptik yang dikirimkan oleh Muqawqis, penguasa Mesir bawahan Kerajaan Bizantium, sebagai hadiah kepada nabi Islam Muhammad pada tahun 628. Menurut sebagian tokoh Islam, ia juga merupakan istri Muhammad, dan "Ibu Orang-orang Beriman" (Ummul Mukminin).

sumber lain seperti Ibnul Qayyim menyatakan bahwa ia hanya seorang selir. Ia merupakan ibu dari putra Muhammad yang bernama Ibrahim, yang meninggal ketika masih kecil. Saudaranya, Sirin, juga turur dikirimkan pula, dan Muhammad kemudian memberikannya kepada penyair muslim Hassan bin Tsabit.

DARI MESIR KE YASTRIB

Tentang nasab Maria, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Maria binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hifna, di salah satu kawasan Anshana di Mesir.  Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agama Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersama saudara perempuannya, Sirin, Maria dipekerjakan pada Raja Muqauqis.

Pada tahun ke-7 H/628, Rasulullah saw mengutus Hatib bin Abi Balta'ah membawa surat ke Muqawqis raja Mesir dan Iskandariyah dan menyerunya masuk Islam.

Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk Islam, justru dia mengirimkan Maria, Sirin, dan seorang budak bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah.

Bersama hadiah-hadiah ini Muqawqis juga menulis surat untuk Nabi saw yang mana pada salah satu penggalannya ditulis: "Saya telah menyambut baik utusanmu dan saya mengirim dua budak perempuan untukmu dari bumi agung Qibth yang memiliki kedudukan tinggi".Diriwayatkan bahwa Hatib bin Abi Balta'ah dipertengahan jalan mengenalkan Islam kepada mereka berdua dan mereka menjadi muslim.

Tabari, menceritakan kedatangan Maria dari Mesir sebagai berikut:

Pada tahun ini, Hātib b. Abi Balta'ah kembali dari Al-Muqawqis membawa Māria dan saudaranya Sīrīn, bagal betinanya Duldul, dan keledainya Ya'fūr, dan pakaian-pakaian. Bersama dua wanita Al-Muqawqis, telah dikirimkan kepadanya seorang kasim, dan surat tersebut ada padanya. Hātib telah mengajaknya masuk Islam sebelum akhirnya tiba bersama mereka, dan begitu pula Māria saudaranya. Rasulullah menempatkan mereka untuk sementara dengan Ummu Sulaym binti Milhān. Māria sangat cantik. Nabi mengirim saudaranya Sīrīn kepada Hassān bin Tsābit dan ia melahirkan 'Abdul Rahmān bin Hassān.
— Tabari, Tarikh at-Tabari.

Rasulullah telah menerima kabar penolakan Muqawqis dan hadiahnya. Ia mengambil Mariya untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit. Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir itu sehingga Rasulullah menitipkan Mariya di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah masjid, Selama satu tahun ia menetap di rumah tersebut. 

Banyak sumber Muslim mengatakan bahwa Muhammad kemudian memerdekakan dan menikahi Maria, namun ini tidak jelas apakah ini fakta historis atau apologi. Budak tidak secara otomatis merdeka karena masuk Islam, sehingga tidak begitu jelas apakah Mariah dimerdekakan atau tidak.

Mariya adalah perempuan suci, agamis, dan termasuk wanita-wanita salehah, dermawan, layak dan menarik hati Nabi saw. Sejarawan dan pengamat sejarah memuji kesalihannya. Dalam menunjukkan kecintaan kepadanya, Nabi saw berkata: "Disaat kamu menguasai Mesir, berlaku baiklah terhadap mereka, sebab aku mempelai mereka".

TURUNNYA SURAT AT-TAHRIM

Suatu hari di hari gilirannya, Hafsah menemui Rasulullah saw dan minta izin pergi untuk satu pekerjan disisi ayahnya. Nabi saw mengiyakannya. Setelah Hafsah pergi, Nabi saw memanggil Mariya. Saat Hafsah kembali ke rumah, pintu dalam keadaan tertutup dan ia duduk di luar pintu. Ketika melihat Nabi saw bersama Mariya ia langsung marah dan berlaku kasar kepada Nabi. Untuk mendapatkan keridhaan Hafsah, Nabi mengharamkan Mariya untuk dirinya dan meminta dari Hafsah supaya menyembunyikan masalah tersebut. Pada saat itu, turunlah ayat pertama dari surah At-Tahrim yang berisi firman Allah swt kepada Nabi Muhammad saw:

“Hai Muhammad, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (Q.S. At-Tahriim:1)

Aisyahpun cemburu kepada Mariya, ini ungkapan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariya karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh, itu lebih menyakitkan bagi karni.” Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun.”

KELAHIRAN IBRAHIM

Dikatakan bahwa Mariya adalah satu-satunya wanita selain Khadijah yang mempunyai anak dari Nabi saw. Mariah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati.

Selang beberapa waktu setelah Mariya menetap di rumah barunya, lahir Ibrahim putra Rasul saw pada bulan Dzulhijjah tahun 8 H/629 dan Jibril turun serta mengucapkan salam kepada beliau dengan sebutan 'wahai Aba Ibrahim'. Diceritakan bahwa Rasulullah gembira setelah kelahiran Ibrahim dan menunjukkannya kepada Aisyah sembari berkata: "Lihat bayi ini, betapa miripnya denganku".

Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya. Maria bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malam, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariya. Ketika Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”

Tanpa dia sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, dia kembali bersabda, “Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan perintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”

Demikianlah keadaan Nabi ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, dia tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian Rasulullah menguburkannya di Baqi’.

SAAT WAFATNYA

Setelah Rasulullah wafat, Mariya hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Mariya wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu di bulan Muharram tahun 16 H/637 M atau pada tahun ke-46 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah sendiri yang menyalati jenazah  Mariya al-Qibtiyah dan dimakamkan di Baqi', Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan penuh berkah. Amin.





Selasa, 18 Februari 2020

Waktu pasti akan berakhir

Hari terus berganti, banyak yang telah dilalui manusia pada masa hidupnya, begitu banyak yang dikejar di alam dunia ini, sehingga sering kali lupa bahwa kehidupan yang hakiki itu di akhirat. 

Jalanan ada ujungnya, perjalanan ini juga akan ada akhirnya. Apa yang ada di dunia ini akan berlalu seiring perjalanan waktu, hingga pada akhirnya semua akan lenyap.

Pesan Nabi SAW. agar kita banyak ingat kematian dan mempersiapkan diri menghadapinya (aktsaruhum dzikral lilmawti wa asyadduhum isti’dadan lahu), (HR. Ibnu Majah).  Begitu pun tutur Beliau : “Kafaa bilmawti waa’idzan”, (cukuplah kematian itu sebagai nasehat), (HR. Tabrani).

DALAM tiap sel tubuh manusia ternyata ada sebuah sistem waktu yang bertugas mengontrol seluruh proses, mulai dari lahir hingga kematian. Para ilmuwan menyebutnya sistem kematian sel, sebuah sistem yang bergerak dan berbunyi untuk mengatur tiap sel tubuh manusia termasuk detak jantung. 

Sebuah sistem yang juga tidak mampu menambah atau mengurangi, sehingga ketika berada diakhir waktu/ketukan, maka kematian datang setelahnya dan tidak pernah bisa ditunda.

فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

“Maka jika datang waktu kematian mereka, tidak bisa mereka tunda dan dan mendahulukannya sedetikpun,”[QS. An-Nahl: 61].

Para ilmuwan mengkonfirmasi bahwa kematian berawal dari dalam sperma, dan berkembang di dalamnya sejak manusia dalam rahim. Mereka mengatakan: kematian diciptakan dalam setiap unsur sel seperti katup pengaman yang mengontrol kehidupan sel, setelah semua terpecah dan mengubah ukuran unsur-unsur tersebut, maka ketika semakin pendek ukurannya maka kematian semakin dekat, dan pada ukuran tertentu sel reproduksi akan berhenti dan mati, dan itulah yang dibuktikan melalui Al-Quran, Allah berfirman:

“Kami telah memperkirakan kematian di antara kalian dan kami tidak mendahuluinya,” (QS. Al-Waqi’ah: 60).

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. 63:11)

Semua akan berakhir dengan kematian. Namun tidak diketahui di mana, kapan dan bagaimana. Karena itu tidak penting. Sebab, yang penting adalah dalam keadaan bagaiamana kita dipanggil Allah.

Kematian bukanlah akhir segalanya, tapi awal dari kehidupan kita yang sebenarnya, apa yang kita tanam di dunia akan kita tuai d akhirat. “Ad-Dunya mazro’atul aakhirah” (dunia ini tempat menanam untuk hidup akhirat).

Allahu a’lam bish-shawab.