Adalah Shafiyyah binti Abdul Muththalib bin Hisyam bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab al-Qurasyiyah al-Hasyimiyah. Beliau adalah bibi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, saudari dari singa Allah Hamzah bin Abdul Muththalib. Beliau juga seorang ibu dari sahabat agung, yaitu Zubair bin Awwam.
Menurut pendapat yang kuat. Di samping itu. Dia adalah ibunda Hawari (penolong) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, salah satu dari sepuluh orang yang dijamin masuk Surga.
Ia terlahir dari keluarga terpandang dan disegani. Ayahnya adalah Abdul Muththalib, seorang pembesar Quraisy, orang yang memiliki kedudukan yang tinggi, terpandang, dan mulia. Dialah yang dipercaya untuk mengurus pendatang yang berhaji.
Ibunya adalah Halah binti Wahab, bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jalur ibu yang notabene juga dikenal sebagai keluarga terpandang. Pernikahannya yang pertama adalah dengan Al-Harits bin Harb bin Umaiyah, saudara Abu Sufyan pemimpin Bani Umaiyah. Setelah Al-Harits meninggal, saudara Ummul Mukminin Khadijah. Dan darinya terlahir Zubair dan Sa’ib.
Seluruh aktifitas tersebut membekas pada diri Shafiyyah ra, sehingga membentuk kepribadian beliau yang kuat. Beliau adalah seorang wanita yang fasih lisannya dan ahli bahasa. Seorang cendekiawan dan penunggang kuda yang pemberani.
Tatkala turun ayat: “Wa andzir ‘Asyiratakal aqrabin’ (Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat).” (As-Syura: 214).
Beliau bersabda, “Hai Fathimah binti Muhammad, hai Shafiyyah binti Abdul Muththalib, wahai Bani Abdul Muththalib, aku tidak kuasa menolong kalian dari siksa Allah. Mintalah kepadaku apa saja yang ada padaku.”
Kemudian bergabunglah Shafiyyah radhiallahu’anha dalam bahtera Islam. Beliau ra termasuk wanita yang awal dalam mengimani putra saudaranya yang jujur dan terpercaya yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam, dan bagus keislamannya.
Bersama putranya Zubair bin Awwam radhiallahu’anhu dan orang-orang pertama memeluk Islam, berlayar menghadang ombak dan gelombang dengan keimanan dan keyakinan menuju keridhaan Allah dan Rasul-Nya, berjuang menghadapi penentangan kaum Quraisy. Kemudian beliau hijrah bersama putranya ke Madinah, meninggalkan kampung halaman untuk menjaga keimanannya.
Shafiyyah ra menyaksikan tersebarnya Islam dan turut andil dalam menyebarkannya. Sungguh jihad merupakan darah dagingnya. Pada saat Perang Uhud. Walaupun telah berusia lebih kurang 56 tahun, Shafiyyah tetap bersemangat untuk bergabung bersama para wanita kaum muslimin untuk membantu merawat para mujahid yang terluka dan mengambilkan air minum, dan memperbaiki panah. Perang terus bergejolak.
Tatkala takdir Allah menghendaki kaum muslimin terpukul mundur karena pasukan pemanah menyalahi perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wassalam sebagai panglima, maka banyak pasukan yang berpencar dari Rasullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Namun, Shafiyyah tetap berdiri dengan berani, sedangkan di tangannya menggenggam tongkat dan beliau pukul wajah orang-orang yang mudur dari peperangan seraya berkata, “Kalian hendak meninggalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam?”
Manakala Shafiyyah mengetahui kesyahidan saudaranya, Hamzah bin Abdul Muththalib ra, yang dijuluki singa Allah yang dibunuh dengan sadis, maka Shafiyyah memberikan teladan yang agung bagi kita dalam hal kesabaran, ketabahan, dan ketegaran. Beliau sendiri mengisahkan kepada kita apa yang beliau saksikan, beliau berkata :
“Pada hari terbunuhnya Hamzah, Zubeir menemuiku dan berkata, ‘Wahai ibunda, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam menyuruh anda agar kembali’. Beliau menjawab, ‘Mengapa? Sungguh telah sampai kepadaku tentang dicincangnya saudaraku, namun dia syahid karena Allah, kami sangat ridha dengan apa yang telah terjadi, sungguh aku akan bersabar dan tabah insya Allah.
Setelah Zubeir ra memberitahukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam tentang komentarku beliau bersabda, ‘Berilah jalan baginya…!’ Maka aku mendapatkan Hamzah dan tatkala aku melihatnya aku berkata, ‘Inna Lillahi wa inna ilaihi Raji’un, kemudian aku mohonkan ampun baginya, setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan untuk menguburkannya’.”
Gambaran lain dari Shafiyyah sang mujahidah dan penunggang kuda ini adalah tatkala terjadi Perang Khandaq saat pasukan Yahudi mencoba menyerang tempat kaum wanita ketika itu para wanita muslimah dan anak-anak berada dalam sebuah benteng. Di sana ada juga Hassan bin Tsabit ra.
Tatkala ada orang Yahudi mengelilingi benteng, sedangkan kaum muslimin sedang menghadapi musuh, maka berdirilah Shafiyyah ra dan berkata kepada Hassan, “Sesungguhnya lelaki Yahudi ini menjadikan kita tidak aman, karena mereka akan mengetahui kekurangan kita, maka berdirilah dan bunuhlah ia. Kemudian, Hassan berkata, ‘Semoga Allah mengampuni anda, sungguh anda mengetahui bahwa seperti itu bukanlah keahlian saya’.”
Ketika Shafiyyah mendengar jawaban Hassan, beliau langsung bangkit dan penuh semangat yang ada di jiwanya. Keluarlah Shafiyyah dan memenggal sendiri kepala Yahudi itu dan melemparnya ke bawah bukit. Melihat kepala temannya menggelinding turun dari atas benteng, nyali orang-orang Yahudi menjadi ciut dan berkata, “Sekarang kami tahu bahwa orang ini (maksudnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak akan meninggalkan keluarganya tanpa ada yang menjaga mereka.”
Beliau memang “wanita pertama yang membunuh laki-laki”. Beliau kembali ke benteng dan tersirat kegembiraan pada kedua matanya, karena mampu menghabisi musuh Allah yang berarti pula menjaga rahasia persembuyian para wanita dan kaum muslimah dari mereka.
Begitulah kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam perang ini dengan jiwa yang beriman dan pemberani yang tidak kenal istilah mustahil dalam meraih jalan kemenangan.
Tatkala Perang Khaibar, Shafiyyah ra keluar bersama kaum muslimah untuk memompa semangat pasukan kaum muslimin. Mereka membuat perkemahan di medan jihad untuk mengobati pasukan yang terluka karena perang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam merasa senang dengan peran para mujahidah sehingga mereka juga mendapatkan bagian dari rampasan perang.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam mencintai bibinya, Shafiyyah ra, dan memuliakan beliau serta memberikan kepada beliau bagian yang banyak.
Shafiyyah mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sejak kecil dan mengikutinya. Beliau takjub dengan keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam dan akhirnya mengimani kenabian beliau, menyertai beliau dalam peperangan, dan merasa sedih tatkala wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yang beliau ungkapkan dengan sya’irnya yang indah:
"Wahai mata, tampakkanlah air mata dan janganlah tidur. Tangisilah sebaik-baik manusia yang telah tiada. Tangisilah al-Musthofa dengan tangisan yang sangat.
Yang masuk ke dalam hati laksana terkena pukulan
Nyaris aku tinggalkan hidup tatkala takdir datang padanya.
Yang telah digariskan dalam kitab yang mulia
Sungguh beliau pengasih kepada sesama hamba
Rahmat bagi mereka dan sebaik-baik Pemberi petunjuk.
Semoga Allah meridhainya tatkala beliau hidup dan mati. Dan membalasnya dengan Jannah pada hari yang kekal."
Shafiyyah hidup sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dengan penuh kewibawaan dan dimuliakan. Semua orang mengetahui keutamaan dan kedudukan beliau. Hingga tatkala beliau wafat pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab, yaitu tahun ke 20 H, umur beliau mencapai lebih dari 70 tahun. Dimakamkan di Baqi Ghargqad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar