Sabtu, 07 Oktober 2017

SAMI'NA WA ATHO'NA


“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(Qs. An-Nisaa : 59).

Sabda Rasulullah, “Tinggalkanlah apa yang aku biarkan untuk kalian. Sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian disebabkan pertanyaan dan penentangan mereka terhadap para nabi mereka. Karenanya apabila aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah ia dan jika aku memerintahkan kepada kalian dengan suatu perintah, maka lakukanlah ia menurut kemampuan kalian”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Sami'na wa Atho'na “kami dengar dan kami taati”, dengan kata lain berarti mendengar dan mentaati setiap apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanallahu wa Ta'ala, tanpa adanya pertanyaan-pertanyaan “untuk apa?, kenapa?, dan apa akibatnya?”.

Sami'na wa Atho'na  merupakan suatu cerminan bagi hamba-hambaNya yang beriman. Maka ketika turun ayat perintah sholat jum'at sampai diharamkannya khamar, mereka mendengar dan taat.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu sekalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Qs.Al-Jumu’ah : 9)

Setelah mendengar ayat ini, merekapun tahu dan mengakui bahwa sholat jum’at itu perintah Allah dan hukumnya adalah wajib, maka mereka segera melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah di dalam ayat itu.

Begitupun ketika turun ayat larangan minum khamar.“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, berkurban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung”.(Qs.Al-Maidah : 90)

Ayat larangan minum khamr, diturunkan secara bertahap, itu dikarenakan minuman khamr  bagi orang Arab sudah menjadi adat kebiasaan yang mendarah daging semenjak zaman jahiliyah. Dan mereka pasti  sulit apabila harus menjauhkan diri dari tidak meminum-minuman khamar.

Namun ketika turun ayat yang menegaskan bahwa khamar itu adalah haram mereka langsung meninggalkan meminum-minuman khamar dan membuangnya, padahal  masih mempunyai sedikit dari padanya, maka tidak boleh meminumnya, dan jangan menjualnya.

(Abu Sa'id) berkata, "Lalu orang-orang sama menuju ke jalan-jalan di Madinah sambil membawa sisa khamr yang ada padanya, lalu mereka menuangkannya". [HR. Muslim juz 3, hal. 1205]

Pada masa awal dakwah Rasulullah, setiap perintah dan larangan yang datang selalu direspon umat dengan menggunakan instrumen keimanan. Tidak peduli apakah ia, menguntungkan atau merugikan, mudah ataupun sulit.

Semangat keimanan  mereka melahirkan ruh-ruh ketaatan. Buah keimanan akan memunculkan husnudzon mereka kepada Allah. Yakin bahwa di dalam larangan itu pasti ada kebaikan.

Isra Mi'raj juga merupakan salah satu pelajaran penting bagi orang-orang beriman tentang kaidah Sami'na wa atho'na. Kami dengar dan kami taat.

Ketika Rasulullah mengabarkan tentang  perjalanan beliau isra dan mi'raj, orang-orang kafir mendustakan, menertawakan dan menganggap beliau gila. Kecuali orang-orang beriman, mereka mempercayainya. Bahkan Abu Bakr as Shiddiq berkata, "Meskipun Muhammad mengatakan lebih dari itu, akupun percaya."

Begitulah seyogyanya keimanan itu tidak lagi menimbang-nimbang, tidak lagi kita ikuti dengan prasangka-prasangka.

Saya dengar dan saya ta’at, bukan "saya dengar dan saya pikir-pikir dulu." memikirkan dampaknya, baik mudharat (dampak negatif) maupun maslahatnya (dampak positif).

Mendengar kemudian taat adalah sikap dasar seorang Muslim, dan itu bukan perkara mudah untuk manusia yang memang senang untuk mencari-cari alasan agar bisa menghindar dari perkara yang Allah dan RasulNya perintahkan, dan melakukan yang sudah jelas-jelas dilarang oleh Allah dan RasulNya

Seorang Muslim yang sudah tahu, paham, atau mendengar aturan Allah SWT, namun tidak menaatinya, maka sikap itu seperti jawaban Bani Israil (Yahudi): "kami dengar namun kami tidak menaatinya (sami’na wa ashoina)

"Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!” Mereka menjawab: “Kami mendengar tetapi tidak menaati”. (QS. Al-Baqarah: 93).

Begitu sedikitnya manusia yang dapat mengaplikasikan kalimat Sami'na wa Atho'na ke dalam kehidupan sehari-harinya, padahal Allah mengganjar syurga bagi hamba-hambanya yang mentaatinya.

Firman Allah “Itulah batas-batas (Hukum) Allah, Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.”( Q.S. An-Nisa’: 13)

Malaikat saat diperintahkan untuk bersujud pada nabi Adam, tanpa banyak pertanyan dan pemikiran segera bersujud.

Malaikat mendengarkan dan mereka taati. Namun iblis laknatullah, pemimpinnya para pembangkang, membantah perintah itu. Dan iblis memberikan argumen-argumen, seakan-akan ia lebih tahu dibandingkan Allah, menganggap perintah Allah itu perlu untuk dikaji ulang dan kemudian bisa direvisi.

Menganggap Allah bisa saja salah bertindak ataupun memerintahkan, iblis merasa materi pembentuk fisiknya lebih mulia. Karena ketidak taatannya itu akhirnya iblispun  terusir. Bukan saja dari syurga, tapi terusir dari sisi Allah dengan akhir pedih, penuh penderitaan.

Sekarang bagaimanakah sikap kita terhadap ayat-ayat Qur'an, dan hadits-hadits Rasul? Mengimaninya seperti para sahabat dan Malaikat atau justru mencari-cari alasan untuk menolaknya seperti iblis?


Wallahu'alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar