Teringat akan perkataan seorang perempuan untuk temannnya yang laki-laki, “cinta itu tidak bisa dibagi karena kamu tak akan bisa adil memberi, dan ketika cinta dibagi, pasti akan ada yang tersakiti”.
Rasa khawatir tersakiti yang kerap kali menyelimuti hati perempuan tentang poligami, membuat banyak perempuan tidak menginginkan bila suami mereka poligami, mereka tidak ingin cinta suaminya terbagi.
Mungkin mereka sangat sukarela ketika harus berbagi cerita, berbagi makanan, berbagi pakaian atau berbagi uang, tapi mereka akan sangat tidak rela kalau harus berbagi laki-laki yang dicintainya dengan perempuan lain.
Dalam Islam mengenal adanya perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan lebih dari satu atau yang dikenal dengan poligami.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Poligami memiliki arti: “Sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.
“ Kata “bersamaan” didalam penjelasannya bukan menunjukan pada proses upacara pernikahannya, tetapi menunjuk kepada kehidupan pernikahan dimana bersamaan dalam arti bukan terjadi pada selang beda waktu, misalkan setelah ditinggal pasangan lawan jenis meninggal atau cerai kemudian menikah lagi.
Poligami menurut J.N.D Anderson, 1994:49 adalah “perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari seorang wanita”.
Jadi berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa poligami adalah “Memiliki atau mengawini 2, 3, atau 4 lawan jenis ( perempuan ) dalam waktu yang bersamaan.
Firman Allah dalam surat An-Nisa : ayat 3, “Maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat”.....
Berdasarkan hukumnya, ada yang berpendapat bahwa poligami itu mubah (tidak dianjurkan juga tidak dilarang) jika khawatir tidak dapat berlaku adil, ini berdasarkan Q.S. An-Nisa : 3 “kemudian jika kamu bimbang tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja”.
Ayat tersebut dengan tegas menuntut seorang suami yang ingin poligami agar berlaku adil, jika khawatir tidak dapat berlaku adil bila sampai empat orang isteri, cukuplah tiga orang saja, kalau itupun masih takut tidak bisa adil maka cukup dua orang saja, dan kalau dua orang isteri masih kuatir tidak dapat adil, maka hendaklah menikah dengan seorang isteri.
Perlakuan adil di sini dalam memenuhi kebutuhan nafkah, pakaian, tempat, giliran (berlaku adil dalam perbuatan dan perkataan) adil yang bersifat lahiriah.
Adapun adil dalam cinta di antara mereka, maka kalian tidak akan mampu berbuat adil walaupun kalian menginginkannya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi jatah dan berbuat adil, lalu beliau berucap:
اَللَّهُمَّ، هَذَا قَسْمِيْ فِيْمَا أَمْلِكُ، فَلاَ تَلُمْنِيْ فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكَ.
“Ya Allah, inilah pembagianku pada apa yang aku miliki. Maka janganlah Engkau mencelaku pada apa yang Engkau miliki, sedangkan aku tidak memiliki.”
Makna ucapan tersebut, bahwa beliau tidak memiliki apa yang ada dalam hatinya berupa cinta kepada sebagian isteri yang lebih mendalam daripada cintanya kepada sebagian yang lain. Sebab, hati adalah kepunyaan Allah; Dia memalingkannya bagaimana yang Dia sukai.
‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berucap, “Ya Allah, adapun hatiku, maka aku tidak bisa menguasainya. Adapun selain hal itu, aku berharap dapat berbuat adil.”
Dengan demikian, syarat untuk menikahi empat wanita adalah keadilan, bukan keadilan dalam perkara yang terdapat dalam hati.
Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kita di akhir ayat ini dengan firman-Nya, (فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ ) “Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada isteri yang kamu cintai).”
Adapun jika tidak dapat berbuat adil dalam menjatah giliran malam, harta dan selainnya, maka sebaiknya dia -bahkan harus- mencukupkan satu wanita saja. Jika tidak, maka dia termasuk golongan yang disinyalir oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ، يَمِيْلُ لأَحَدِهِمَا عَلَى اْلأُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَجُرُّ أَحَدَ شِقَّيْهِ سَاقِطًا أَوْ مَائِلاً.
“Barangsiapa yang mempunyai dua orang isteri lalu cenderung kepada salah satu dari keduanya dibandingkan yang lainnya, maka dia datang pada hari Kiamat dengan menarik salah satu dari kedua pundaknya dalam keadaan jatuh atau condong.”
Dalam riwayat lain:
فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ.
“Lalu dia condong kepada salah satu dari keduanya, maka dia datang pada hari Kiamat dalam keadaan sisi tubuhnya condong.”
Di bawah ini adalah contoh bentuk keadilan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antara isteri-isterinya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebihkan sebagian kami atas sebagian lainnya dalam hal menjatah untuk tinggal di sisi kami.
Terkadang beliau mengelilingi kami semua, lalu beliau mendekati setiap isterinya tanpa persetubuhan, hingga beliau sampai kepada isterinya yang mendapat giliran pada hari itu lalu tinggal di sisinya.”
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan, “Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak bepergian, maka beliau mengundi di antara isteri-isterinya; mana di antara mereka yang keluar bagiannya, maka dia keluar bersama beliau. Dan beliau menjatah untuk tiap-tiap mereka malam dan siang harinya.”
Jabir bin Zaid berkata, “Aku mempunyai dua isteri dan aku berlaku adil di antara keduanya hingga dalam masalah ciuman.”
Mujahid berkata, “Mereka menganjurkan supaya berbuat adil di antara para isteri hingga dalam masalah wewangian; ia memakai wewangian untuk yang ini sebagaimana memakai wewangian untuk yang lainnya.”
Ibnu Sirin berkata, “Makruh suami berwudhu’ di rumah salah seorang isterinya tetapi tidak melakukan hal yang sama di rumah isterinya yang lain.”
Abul Qasim berkata, “Cukuplah bagimu apa yang telah lewat dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya mengenai hal ini. Aku tidak mendapat kabar dari salah seorang di antara mereka bahwa dia menjatah (menggilir), kecuali sehari di sini dan sehari di sana.”
Ibnu Qudamah berkata, “Seseorang membagi di antara isteri-isterinya satu malam satu malam. Sedangkan pada siang harinya untuk mata pencahariannya dan menyelesaikan hak-hak orang lain, kecuali bila mata pencahariannya pada malam hari, seperti penjaga, maka dia menggilirnya pada siang hari, dan malamnya seperti siang harinya.”
Masalah poligami ini memang selalu menjadi pembahasan yang panjang,pro kontra, setuju dan tidak setuju akan mewarnai apabila ada pembicaraan tentang poligami padahal ini bukanlah hal yang harus disetujui atau tidak disetujui oleh manusia, karena poligami sudah ada ketetapannya dari Allah dan sudah dicontohkan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, tinggal bagaimana manusia bisa atau belum bisa melakukannya.
Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ، وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا}
“Dan tidakkah patut bagi laki-laki dan perempuan yang (benar-benar) beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (QS al-Ahzaab:36).
Poligami bukan hal yang bisa dilaksanakan karena keinginan semata, dan bukan hal yang bisa dengan tergesa-gesa melakukannya, ada kebaikan dan keburukan yang mesti kita cermati.
Kebaikan-kebaikan atau hikmah yang bisa di dapat dari poligami, antara lain :
1. Jumlah lelaki yang lebih sedikit dibanding wanita dan lelaki lebih banyak menghadapi sebab kematian dalam hidupnya. Jika tidak ada syariat poligami sehingga seorang lelaki hanya diizinkan menikahi seorang wanita maka akan banyak wanita yang tidak mendapatkan suami sehingga dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kotor dan berpaling dari petunjuk Al Quran dan Sunnah. (Syaikh Muhammad Asy Syanqithi dalam Adhwaul Bayaan 3/377 dinukil dari Jami’ Ahkamin Nisaa 3/443-3445).
2. Syariat poligami dapat mengangkat derajat seorang wanita yang ditinggal atau dicerai oleh suaminya dan ia tidak memiliki seorang pun keluarga yang dapat menanggungnya sehingga dengan poligami, ada yang bertanggung jawab atas kebutuhannya.
Kami tambahkan, betapa banyak manfaat ini telah dirasakan bagi pasangan yang berpoligami,
3. Memperbanyak jumlah kaum muslimin sehingga memiliki sumbar daya manusia yang cukup untuk menghadapi musuh-musuhnya dengan berjihad. Kami tambahkan, kaum muslimin dicekoki oleh program Keluarga Berencana atau yang semisalnya agar jumlah mereka semakin sedikit, sementara jika kita melihat banyak orang-orang kafir yang justru memperbanyak jumlah keturunan mereka.
4. Termasuk hikmah agung poligami, seorang istri memiliki kesempatan lebih besar untuk menuntut ilmu, membaca al-Qur’an dan mengurus rumahnya dengan baik, ketika suaminya sedang di rumah istrinya yang lain. Kesempatan seperti ini umumnya tidak didapatkan oleh istri yang suaminya tidak berpoligami.
Selain hikmah ada keburukan yang bisa terjadi bila poligami ini dilakukan karena mengikuti hawa nafsu belaka atau karena tergesa-gesa dan bersegera melakukan poligami tanpa pertimbangan dan pemikiran, sehingga ia menghancurkan kebahagiaan keluarganya dan memutus ikatan tali (pernikahannya) dan menjadi seperti orang yang dikatakan oleh seorang A’rabi (dalam bait syairnya):
"Aku menikahi dua wanita karena kebodohanku yang sangat
Dengan apa yang justru mendatangkan sengsara
Tadinya aku berkata, ku kan menjadi seekor domba jantan di antara keduanya
Merasakan kenikmatan di antara dua biri-biri betina pilihan
Namun kenyataannya, aku laksana seekor biri-biri betina yang berputar di pagi dan sore hari diantara dua serigala
Membuat ridla istri yang satu ternyata mengobarkan amarah istri yang lain
Hingga aku tak pernah selamat dari satu diantara dua kemurkaan
Aku terperosok ke dalam kehidupan nan penuh kemudlaratan
Demikianlah mudlarat yang ditimbulkan di antara dua madu
Malam ini untuk istri yang satu, malam berikutnya untuk istri yang lain, selalu sarat dengan cercaan dalam dua malam
Maka bila engkau suka untuk tetap mulia dari kebaikan
yang memenuhi kedua tanganmu hiduplah membujang
namun bila kau tak mampu, cukup satu wanita, hingga mencukupimu dari beroleh kejelekan dua madu".
Bait syairnya yang dikatakan A’rabi ini tidak benar secara mutlak, tetapi barangsiapa yang memberat-beratkan dirinya melakukan poligami tanpa disertai kemampuan memberikan nafkah, pendidikan dan penjagaan yang baik serta memperhatikan adab-adab dalam berpoligami, maka dimungkinkan akan menimpanya apa yang dikisahkan oleh A’rabi itu yaitu berupa kesulitan dan kepayahan.
Adapun adab dalam berpoligami bagi orang yang melakukannya adalah sebagai berikut :
1. Tidak bersikap berat sebelah terhadap salah satu dari istri-istrimu
2. Janganlah kamu memuji salah seorang dari mereka, baik dalam hal kecantikan, kepandaian memasak, atau akhlak, di hadapan istri yang lain.
Karena ini semua akan merusak suasana dan menambah permusuhan serta kebencian di antara mereka, kecuali jika ada pertimbangan maslahat/kebaikan yang diharapkan.
3. Tidak mendengarkan ucapan salah seorang dari mereka tentang istri yang lain, dan tegurlah/laranglah perbuatan tersebut, supaya mereka tidak terbiasa saling menjelek-jelekkan satu sama yang lain.
Allah Ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya istri-istri dan anak-anak kalian adalah musuh bagi kalian maka berhati-hatilah dari mereka“. (QS. At Taghabun: 14)
Poligami diperbolehkan bila ia juga merasa dirinya aman dari fitnah dengan mereka dan aman dari menyia-nyiakan hak Allah dengan sebab mereka, aman pula dari terlalaikan melakukan ibadah kepada Allah karena mereka.
Demikianlah keterangan tentang poligami yang menunjukkan sempurnanya keadilan dan hikmah dari hukum-hukum Allah Ta’ala.
Semoga ini semua menjadikan kita semakin yakin akan keindahan dan kebaikan agama Islam, karena ditetapkan oleh Allah Ta’ala yang Maha Sempurna semua sifat-sifatnya.
Wallahualam.
Rasa khawatir tersakiti yang kerap kali menyelimuti hati perempuan tentang poligami, membuat banyak perempuan tidak menginginkan bila suami mereka poligami, mereka tidak ingin cinta suaminya terbagi.
Mungkin mereka sangat sukarela ketika harus berbagi cerita, berbagi makanan, berbagi pakaian atau berbagi uang, tapi mereka akan sangat tidak rela kalau harus berbagi laki-laki yang dicintainya dengan perempuan lain.
Dalam Islam mengenal adanya perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan lebih dari satu atau yang dikenal dengan poligami.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Poligami memiliki arti: “Sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.
“ Kata “bersamaan” didalam penjelasannya bukan menunjukan pada proses upacara pernikahannya, tetapi menunjuk kepada kehidupan pernikahan dimana bersamaan dalam arti bukan terjadi pada selang beda waktu, misalkan setelah ditinggal pasangan lawan jenis meninggal atau cerai kemudian menikah lagi.
Poligami menurut J.N.D Anderson, 1994:49 adalah “perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari seorang wanita”.
Jadi berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa poligami adalah “Memiliki atau mengawini 2, 3, atau 4 lawan jenis ( perempuan ) dalam waktu yang bersamaan.
Firman Allah dalam surat An-Nisa : ayat 3, “Maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat”.....
Berdasarkan hukumnya, ada yang berpendapat bahwa poligami itu mubah (tidak dianjurkan juga tidak dilarang) jika khawatir tidak dapat berlaku adil, ini berdasarkan Q.S. An-Nisa : 3 “kemudian jika kamu bimbang tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja”.
Ayat tersebut dengan tegas menuntut seorang suami yang ingin poligami agar berlaku adil, jika khawatir tidak dapat berlaku adil bila sampai empat orang isteri, cukuplah tiga orang saja, kalau itupun masih takut tidak bisa adil maka cukup dua orang saja, dan kalau dua orang isteri masih kuatir tidak dapat adil, maka hendaklah menikah dengan seorang isteri.
Perlakuan adil di sini dalam memenuhi kebutuhan nafkah, pakaian, tempat, giliran (berlaku adil dalam perbuatan dan perkataan) adil yang bersifat lahiriah.
Adapun adil dalam cinta di antara mereka, maka kalian tidak akan mampu berbuat adil walaupun kalian menginginkannya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi jatah dan berbuat adil, lalu beliau berucap:
اَللَّهُمَّ، هَذَا قَسْمِيْ فِيْمَا أَمْلِكُ، فَلاَ تَلُمْنِيْ فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكَ.
“Ya Allah, inilah pembagianku pada apa yang aku miliki. Maka janganlah Engkau mencelaku pada apa yang Engkau miliki, sedangkan aku tidak memiliki.”
Makna ucapan tersebut, bahwa beliau tidak memiliki apa yang ada dalam hatinya berupa cinta kepada sebagian isteri yang lebih mendalam daripada cintanya kepada sebagian yang lain. Sebab, hati adalah kepunyaan Allah; Dia memalingkannya bagaimana yang Dia sukai.
‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berucap, “Ya Allah, adapun hatiku, maka aku tidak bisa menguasainya. Adapun selain hal itu, aku berharap dapat berbuat adil.”
Dengan demikian, syarat untuk menikahi empat wanita adalah keadilan, bukan keadilan dalam perkara yang terdapat dalam hati.
Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kita di akhir ayat ini dengan firman-Nya, (فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ ) “Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada isteri yang kamu cintai).”
Adapun jika tidak dapat berbuat adil dalam menjatah giliran malam, harta dan selainnya, maka sebaiknya dia -bahkan harus- mencukupkan satu wanita saja. Jika tidak, maka dia termasuk golongan yang disinyalir oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ، يَمِيْلُ لأَحَدِهِمَا عَلَى اْلأُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَجُرُّ أَحَدَ شِقَّيْهِ سَاقِطًا أَوْ مَائِلاً.
“Barangsiapa yang mempunyai dua orang isteri lalu cenderung kepada salah satu dari keduanya dibandingkan yang lainnya, maka dia datang pada hari Kiamat dengan menarik salah satu dari kedua pundaknya dalam keadaan jatuh atau condong.”
Dalam riwayat lain:
فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ.
“Lalu dia condong kepada salah satu dari keduanya, maka dia datang pada hari Kiamat dalam keadaan sisi tubuhnya condong.”
Di bawah ini adalah contoh bentuk keadilan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antara isteri-isterinya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melebihkan sebagian kami atas sebagian lainnya dalam hal menjatah untuk tinggal di sisi kami.
Terkadang beliau mengelilingi kami semua, lalu beliau mendekati setiap isterinya tanpa persetubuhan, hingga beliau sampai kepada isterinya yang mendapat giliran pada hari itu lalu tinggal di sisinya.”
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan, “Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak bepergian, maka beliau mengundi di antara isteri-isterinya; mana di antara mereka yang keluar bagiannya, maka dia keluar bersama beliau. Dan beliau menjatah untuk tiap-tiap mereka malam dan siang harinya.”
Jabir bin Zaid berkata, “Aku mempunyai dua isteri dan aku berlaku adil di antara keduanya hingga dalam masalah ciuman.”
Mujahid berkata, “Mereka menganjurkan supaya berbuat adil di antara para isteri hingga dalam masalah wewangian; ia memakai wewangian untuk yang ini sebagaimana memakai wewangian untuk yang lainnya.”
Ibnu Sirin berkata, “Makruh suami berwudhu’ di rumah salah seorang isterinya tetapi tidak melakukan hal yang sama di rumah isterinya yang lain.”
Abul Qasim berkata, “Cukuplah bagimu apa yang telah lewat dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya mengenai hal ini. Aku tidak mendapat kabar dari salah seorang di antara mereka bahwa dia menjatah (menggilir), kecuali sehari di sini dan sehari di sana.”
Ibnu Qudamah berkata, “Seseorang membagi di antara isteri-isterinya satu malam satu malam. Sedangkan pada siang harinya untuk mata pencahariannya dan menyelesaikan hak-hak orang lain, kecuali bila mata pencahariannya pada malam hari, seperti penjaga, maka dia menggilirnya pada siang hari, dan malamnya seperti siang harinya.”
Masalah poligami ini memang selalu menjadi pembahasan yang panjang,pro kontra, setuju dan tidak setuju akan mewarnai apabila ada pembicaraan tentang poligami padahal ini bukanlah hal yang harus disetujui atau tidak disetujui oleh manusia, karena poligami sudah ada ketetapannya dari Allah dan sudah dicontohkan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, tinggal bagaimana manusia bisa atau belum bisa melakukannya.
Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ، وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا}
“Dan tidakkah patut bagi laki-laki dan perempuan yang (benar-benar) beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (QS al-Ahzaab:36).
Poligami bukan hal yang bisa dilaksanakan karena keinginan semata, dan bukan hal yang bisa dengan tergesa-gesa melakukannya, ada kebaikan dan keburukan yang mesti kita cermati.
Kebaikan-kebaikan atau hikmah yang bisa di dapat dari poligami, antara lain :
1. Jumlah lelaki yang lebih sedikit dibanding wanita dan lelaki lebih banyak menghadapi sebab kematian dalam hidupnya. Jika tidak ada syariat poligami sehingga seorang lelaki hanya diizinkan menikahi seorang wanita maka akan banyak wanita yang tidak mendapatkan suami sehingga dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kotor dan berpaling dari petunjuk Al Quran dan Sunnah. (Syaikh Muhammad Asy Syanqithi dalam Adhwaul Bayaan 3/377 dinukil dari Jami’ Ahkamin Nisaa 3/443-3445).
2. Syariat poligami dapat mengangkat derajat seorang wanita yang ditinggal atau dicerai oleh suaminya dan ia tidak memiliki seorang pun keluarga yang dapat menanggungnya sehingga dengan poligami, ada yang bertanggung jawab atas kebutuhannya.
Kami tambahkan, betapa banyak manfaat ini telah dirasakan bagi pasangan yang berpoligami,
3. Memperbanyak jumlah kaum muslimin sehingga memiliki sumbar daya manusia yang cukup untuk menghadapi musuh-musuhnya dengan berjihad. Kami tambahkan, kaum muslimin dicekoki oleh program Keluarga Berencana atau yang semisalnya agar jumlah mereka semakin sedikit, sementara jika kita melihat banyak orang-orang kafir yang justru memperbanyak jumlah keturunan mereka.
4. Termasuk hikmah agung poligami, seorang istri memiliki kesempatan lebih besar untuk menuntut ilmu, membaca al-Qur’an dan mengurus rumahnya dengan baik, ketika suaminya sedang di rumah istrinya yang lain. Kesempatan seperti ini umumnya tidak didapatkan oleh istri yang suaminya tidak berpoligami.
Selain hikmah ada keburukan yang bisa terjadi bila poligami ini dilakukan karena mengikuti hawa nafsu belaka atau karena tergesa-gesa dan bersegera melakukan poligami tanpa pertimbangan dan pemikiran, sehingga ia menghancurkan kebahagiaan keluarganya dan memutus ikatan tali (pernikahannya) dan menjadi seperti orang yang dikatakan oleh seorang A’rabi (dalam bait syairnya):
"Aku menikahi dua wanita karena kebodohanku yang sangat
Dengan apa yang justru mendatangkan sengsara
Tadinya aku berkata, ku kan menjadi seekor domba jantan di antara keduanya
Merasakan kenikmatan di antara dua biri-biri betina pilihan
Namun kenyataannya, aku laksana seekor biri-biri betina yang berputar di pagi dan sore hari diantara dua serigala
Membuat ridla istri yang satu ternyata mengobarkan amarah istri yang lain
Hingga aku tak pernah selamat dari satu diantara dua kemurkaan
Aku terperosok ke dalam kehidupan nan penuh kemudlaratan
Demikianlah mudlarat yang ditimbulkan di antara dua madu
Malam ini untuk istri yang satu, malam berikutnya untuk istri yang lain, selalu sarat dengan cercaan dalam dua malam
Maka bila engkau suka untuk tetap mulia dari kebaikan
yang memenuhi kedua tanganmu hiduplah membujang
namun bila kau tak mampu, cukup satu wanita, hingga mencukupimu dari beroleh kejelekan dua madu".
Bait syairnya yang dikatakan A’rabi ini tidak benar secara mutlak, tetapi barangsiapa yang memberat-beratkan dirinya melakukan poligami tanpa disertai kemampuan memberikan nafkah, pendidikan dan penjagaan yang baik serta memperhatikan adab-adab dalam berpoligami, maka dimungkinkan akan menimpanya apa yang dikisahkan oleh A’rabi itu yaitu berupa kesulitan dan kepayahan.
Adapun adab dalam berpoligami bagi orang yang melakukannya adalah sebagai berikut :
1. Tidak bersikap berat sebelah terhadap salah satu dari istri-istrimu
2. Janganlah kamu memuji salah seorang dari mereka, baik dalam hal kecantikan, kepandaian memasak, atau akhlak, di hadapan istri yang lain.
Karena ini semua akan merusak suasana dan menambah permusuhan serta kebencian di antara mereka, kecuali jika ada pertimbangan maslahat/kebaikan yang diharapkan.
3. Tidak mendengarkan ucapan salah seorang dari mereka tentang istri yang lain, dan tegurlah/laranglah perbuatan tersebut, supaya mereka tidak terbiasa saling menjelek-jelekkan satu sama yang lain.
Allah Ta’ala berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya istri-istri dan anak-anak kalian adalah musuh bagi kalian maka berhati-hatilah dari mereka“. (QS. At Taghabun: 14)
Poligami diperbolehkan bila ia juga merasa dirinya aman dari fitnah dengan mereka dan aman dari menyia-nyiakan hak Allah dengan sebab mereka, aman pula dari terlalaikan melakukan ibadah kepada Allah karena mereka.
Demikianlah keterangan tentang poligami yang menunjukkan sempurnanya keadilan dan hikmah dari hukum-hukum Allah Ta’ala.
Semoga ini semua menjadikan kita semakin yakin akan keindahan dan kebaikan agama Islam, karena ditetapkan oleh Allah Ta’ala yang Maha Sempurna semua sifat-sifatnya.
Wallahualam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar